Buya Hamka Pernah Jadi Joki Kuda Pacuan ?



SagoNews.com - Pacuan kuda di Pajacombo memang sudah ramai dari dulu. Pada tahun 1921 pun Buya HAMKA yang masa kecilnya yang sangat parewa itu pernah menjadi joki di gelanggang pacuan kuda Pajacombo. Saat itu umurnya baru 13 tahun tapi dipaksa berbohong mengaku berumur 16 tahun oleh pemilik kuda jika ingin berpacu. Karena memang begitulah persyaratan menjadi joki; minimal berumur 16 tahun.

Dalam pacuan kuda itu sebagaimana yang dijelaskan oleh Akmal Naseri Baseral di dalam buku BUYA HAMKA: Setangkai Bunga di Taman Pujangga, gelanggang pacuan kuda di datangi masyarakat berbondong-bondong. Bukan dari Pajacombo saja melainkan dari Fort de Cock, Padang Panjang, Tanah Datar ataupun dari kota-kota lain di Sumatera. Namun sayang sekali si Malik yang suatu hari nanti yang menjadi buya itu, orang yang setiap petuah-petuahnya selalu didengar dan dinantikan, ternyata tidak menang dalam pacuan yang dicurangi oleh joki lawannya. Maka sejak itulah terakhir kalinya si Malik menjadi joki.

Ketika sudah tiba hari pacuan kuda, orang-orang akan berhenti ke sawah dan ke ladang. Bahkan orang termiskin sekalipun dari dulu, akan menghabiskan sisa-sisa uang di pundi-pundinya untuk dapat menikmati alek tahunan itu. Ada yang membawa rantang, tikar, dan kain panjang untuk atap kemah-kemah darurat. Semuanya dibawa, termasuk bayi yang masih dalam gendongan sekalipun. Acara ini alek tahunan, sama meriahnya dengan hari raya.

Seperti jelasnya Gunung Sago terlihat dari arah tenggara dari dulu hingga kini dari gelanggang itu, pertaruhan di hari alek nagari tahunan itu tidak pernah hilang sepanjang lamanya sejarah perpacuan kuda. Sebagian orang ada yang menabung berbulan-bulan hanya untuk dihabiskan sehari di gelanggang. Kalah dan memang itu biasa, pikirnya. Yang penting candu lopeh kawan tatolong. 

(Catatan kecil Feni Efendi tentang pacu kuda di dalam buku PAJACOMBO yang sedang disusun // Dimuat redaksi SagoNews.com pukul 01.18 tanggal 27 Juni 2020 untuk kepentingan literasi).