Melenggang Ke Galanggang Di Pusaran Pilgub Sumbar


Reido Deskumar 
Koordinator The Indonesian Democracy Initiative (TIDI) Sumatera Barat

SagoNews.com - Semakin hari, pemilihan kepala daerah (Pilkada) khususnya pemilihan gubernur (Pilgub) Sumbar 2020 sangat menarik untuk diikuti. Teka teki pasangan calon begitu cepat berhembus. Alun takilek lah takalam, begitulah urang awak dalam mengambil sebuah pandangan. Ya, wajar saja permainan dari elit sangat mudah ditebak. Ada yang terang-terangan bergandengan, ada pula yang masih malu-malu namun intens bertemu. Semakin kesini, semakin jelas jantan batinonyo. 

Tidak mudah melenggang ke Galanggang memunculkan diri dalam proses pencalonan ke partai politik (parpol). Dalam pelaksanaannya sering terdistorsi oleh praktik yang tidak lagi mengakomodasi kapasitas dan kapabilitas. Namun lebih kepada ajang kontestasi pada pertarungan modal. Seakan kualitas dikesampingkan, faktor kemampuan modal dan finansial diutamakan.

Diawal-awal, berbagai partai politik (parpol) membuka kran penjaringan calon gubernur dan wakil gubernur Sumbar 2020. Para calon berdatangan melakukan safari politik. Sebuah ikhtiar diawal mencari kendaraan yang akan ditunggangi. Apakah ini sebagai bentuk strategi parpol mencari calon yang berkualitas? Entahlah, sampai saat ini penjaringan yang dilakukan tidak jelas muaranya. 

Istilah laluan yang diawak sangat tepat disematkan dikalangan elit parpol. Banyak-nya calon yang mendaftarkan diri ke parpol, mengikuti alur dan mekanisme yang ada tidak jelas ujung pangkalnya. Pada akhirnya kader partai sendiri yang dinaikan. Satu sisi sangat bagus. 

Parpol berhasil melakukan pengkaderan dan memecahkan sindrom ketidak percayaan terhadap kader sendiri. Akan tetapi apa yang sudah dilakukan, memperlihatkan parpol tidak konsisten dan tidak terlalu serius dalam melakukan penjaringan. Seolah-seolah memberikan ruang dan fasilitas kepada orang yang memiliki kualitas, akan tetapi sekedar basa basi untuk meningkatkan elektoral partai. 
Seharusnya metode penjaringan ini bisa dikelola dengan baik. Dilakukan dengan mengedepankan prinsip transparansi dan keterbukaan. 

Sehingga menegaskan parpol bukan hanya etintas yang ekslusif , melainkan mampu memfasilitasi orang lain ikut terlibat dalam kontestasi Pilgub. Metode penjaringan ini bisa dijadikan sebagai momentum rekutmen kader parpol. Jika tidak seperti itu, pencalonan melalui parpol masih sangat bernuansa oligarki elit. 

Kecenderungan pilihan lebih mendominasi kepada materi dan posisi ditataran elit parpol. Sehingga yang memiliki potensi otomatis terpinggirkan.

Bukan perkara mudah memproyeksikan calon yang akan diturunkan dalam sebuah konstestasi politik. Diperlukan tolak ukur, hitung-hitungan dan analisa yang tajam dalam menentukan sikap. Paling dominan itu soal popularitas, elektabilitas serta cost politik yang akan dipertaruhkan. Belum lagi kongkalingkong ditataran elit parpol yang harus dihadapi.

Perlu diketahui internal parpol memiliki prosedur, mekanisme, dan alur komunikasi. Tingkatannya berjenjang, mulai dari daerah, dan berkahir di tangan perngurus pusat untuk mengeluarkan Surat Keputusan (SK). Jika sudah dilalui semua, SK pun keluar, tiket sudah didapatkan. 

Rumitnya prosedural dan tingginya tingkat lobi ditataran elit parpol, tidak sedikit yang mencoba peruntuhan dengan jalur independen. Memang sesuatu yang tidak lazim. Namun cara ini legal dan diakui undang-undang. Cukup dengan bermodalkan KTP 316 ribu dari berbagai loyalis, sudah bisa ikut serta dalam kontestasi Pilgub. Cara ini begitu simple dan short cut dibandingkan masuk dengan mekanisme parpol. Banyak rantai yang diputus, lobi ditataran elit bahkan politik transaksional mungkin saja terjadi. 

Membangun Koalisi 

Setiap kontestasi Pilkada terciptanya sebuah koaliasi tidak bisa dihindari. Hal ini merupakan sebuah ruh  membangun dan menggalang kekuatan menghadapi lawan politik. Secara peraturan undang-undang, koalisi menjadi syarat yang harus dipenuhi oleh Parpol jika tidak mencukupi jumlah kursi 20%. Menurut UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Pasal 40 ayat (1) menyebut bahwa Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan. 

Bagi parpol yang sudah memiliki kecukupan batas jumlah kursi 20% koalisi tetap saja dilakukan, baik itu dengan sesama parpol maupun dengan ormas dan lembaga sosial masyarakat lainya. Ini membuktikan bahwa parpol tidak bisa mandiri, sangat membutuhkan suntikan dukungan dari pihak lain.

Dikutip dari pernyataan Yusa Djuyandi, tebentuknya sebuah koalisi dimungkinkan oleh banyak faktor, di antaranya karena adanya kesamaan platform di antara parpol yang akan berkoalisi tersebut. Platform yang dimaksud termasuk dalam masalah agama, ekonomi dan kebangsaan. Tetapi, koalisi juga bisa dibangun atas dasar kepentingan politik murni, yakni untuk mendapatkan jabatan publik strategis dan kemudian membagi-baginya di antara sesama peserta koalisi. 

Koalisi partai yang berdasarkan atas asas kepentingan politik elit mempunyai pengaruh kepada terbukanya ruang bagi kelas elit untuk menguasi lini-lini strategis demi kepentingan kekuasaan antar parpol koalisi. Sebaliknya, koalisi berangkat dari kesamaa visi dan pandangan politik akan mengedepankan semangat pengabdian kepada masyarakat. 

Selama koalisi didasarkan pada kepentingan dan kemaslahatan masyarakat melalui mekanisme demokrasi yang dijalani dengan semangat perubahan kearah yang lebih baik, akan menghasilkan pemimpin yang memiliki integritas dan ketajaman dalam mengelola tatanan kehidupan masyarakat. Dan sebaliknya jika dorongan koalisi yang mengarah atas kepentingan oligarki elit, menangpun belum tentu memberikan kemaslahatan untuk masyarakat.

Peta Pilgub Sumbar 2020

Koalisi Pilgub Sumbar 2020 sudah mengerucut dengan mengapungnya beberapa pasang calon ke permukaan. Walaupun belum resmi mendaftar ke KPU, sudah banyak yang show up ke publik. Baliho dipasang dan dibentangkan di area-area pusat keramaian dan jalan-jalan yang berpotensi mengundang ketertarikan masyarakat. Selain itu pasangan sudah saling berkunjung, saling blusukan ke daerah-daerah dalam motif mencari dukungan. Langkah awal dalam menaskan mesin  sebelum pita Pilkada serentak 2020 digunting KPU. 

Perjalan kontestasi Pilgub Sumbar saat ini bisa dikatagorikan dalam 5 kelompok. Walaupun belum resmi  dan pasti, setidaknya menjadi referensi untuk ditelaah lebih lanjut. Pertama, pasangan yang diusung parpol dan koalisi parpol dengan jumlah kursi sudah mencukupi 20%. Kedua, pasangan yang diusung parpol jumlah kursi kurang dari 20%. Ketiga, parpol yang sudah ada calon namun belum menentukan koalisi. Keempat, parpol yang memiliki kursi kurang 20% tapi tidak ada calon yang diusung. Terkahir, pasangan tanpa koalisi partai (jalur independen). 

Parpol dan koalisi parpol yang sudah mengantongi 20% suara sudah memuculkan pasanganya diantaranya, Nasrul Abid dan Indra Catri usungan tunggal dari Gerindra dengan 14 kursi. Pasangan Mahyeldi Asharullah dengan Audy Joinaldy koaliasi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Pembangunan (PPP) total 14 kursi. Parpol yang belum mengantongi minimal 20% namun sudah memiliki pasangan yaitu Faldo Maldini dengan Febby Dt. Bangso diusung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan 3 kursi. 

Parpol yang sudah mempunyai calon akan tetapi belum menentukan koalisi diantaranya Demokrat dengan nama yang mencuat yaitu Mulyadi, Partai Amanat Nasional (PAN) dengan dua orang nama sekaligus Ali Mukhni dan Sadiq Pasadigoe. Parpol yang memiliki kursi tapi tidak memiliki calon yaitu Golkar 8 kursi, NasDem dan PDIP sama-sama 3 memiliki kursi. Dan terkahir jalur independen ada pasangan Fakhrizal dengan Genius Umar.

Sejauh ini pasangan yang sudah jelas dan bisa dikatakan akan melaju tanpa kendala adalah Mahyeldi dengan Audy Joinaldy koalisi PKS dan PPP. Serta Nasrul Abid dengan Indra Catri calon tunggal dari Gerindra. Dari batas minal kursi sudah memenuhi 20%. Ditaran elitpun sudah saling membuka ruang bahkan saling berkunjung dan mendeklarasikan diri.

Dilain sisi geliat politik masih diperlihatkan oleh Mulyadi, Ali Mukhni dan Sadiq Pasadigoe. Bahkan digadang-gadang Demokrat dan PAN akan membentuk koalisi. Apakah Mulyadi dengan Ali Mukhni atau Mulyadi dengan  Sadiq Pasadigoe ? Namun sampai sekarang belum jelas arahnya. Apa belum selesai transaksi politik dikalangan elit? 

Pasangan lainya, Faldo dengan Febby Dt. Bangso walaupun belum memenuhi 20% sudah mulai terjun ke masyarakat. Saling bergandengan kemanapun itu. Satu sisi memperlihatkan keseriusan untuk memancing parpol lain yang belum mempunyai calon dan menentukan koalisi. Golkar, NasDem dan PDIP yang saat ini tidak terlalu bersikap di Pilgub Sumbar, bisa saja ditarik untuk berkoalisi. Potensi hadirnya koalisi PKB, Golkar, PDIP dan NasDem sangat besar. Semua parpol tersebut merupakan satu kesatuan dari koalisi pemerintah di tingkat pusat. Jadi tidak begitu sulit sepertinya melakukan lobi ditataran elit untuk terbentuknya koalisi. 

Semantara itu pasangan Fakhrizal dan Genius Umar sudah lebih awal menyatakan diri maju melalui jalur independen jauh sebelum pasangan lain mendeklarasikan diri. Semua persyaratan sudah diajukan, tinggal menunggu hasil verifikasi  KPU.
Peta politk akan terus berubah karena di dalam politik tidak ada yang pasti. 

Kemungkinan dan kemungkinan itu akan terus ada. Yang sudah dekat terkadang bisa langsung menjauh. Dan sebaliknya, yang jauh bisa juga mendekat. Komunikasi ditataran elit partai tidak semudah dibayangkan saat calon melakukan komunikasi dengan masyarakat. Banyak kepentingan yang bermain di dalamnya. Tinggal ditunggu saja percaturan ditingkat elit parpol. Apakah akan ada surprise yang dihadirkan untuk melenggang ke Galanggang dalam kontestasi Pilgub Sumbar 2020. (***)