Sumatra Barat Ingin Pembangunan Fisik Atau SDM ?



Opini, SagoNews.com - Kecintaan kepada tanah kelahiran, tempat ari - ari kita terkubur itu unik. Seringkali dihiasi dengan berbagai konflik dan polemik, antara mamak dengan keponakan, antara tetangga yang saling bersaing, termasuk sesama kawan yang saling adu gengsi dan tentang adat yang kerap menjadi harga mati.

Sangat sering konflik dan polemik di internal kampung itu, menjadi persoalan yang pelik. Tak sesiapa pun yang dapat menyelesaikan kusutnya persoalan, selain salah satu diantara mereka itu mengalah. Hal - hal semacam itu yang kerap membuat lambatnya pembangunan di kampung - kampung, di Minangkabau atau di Sumatra Barat.

Beruntunglah Sumatra Barat, ketika presiden Jokowi Dodo dapat merealisasikan dana desa (nagari). Sehingga nagari - nagari di Sumatra Barat dapat sedikit berbenah dengan adanya dana tersebut, tentunya bagi nagari yang dipimpin oleh wali yang arif dan bijaksana pula. Seharusnya, pemerintah pusat, provinsi dan daerah mengoptimalkan dulu pemanfaatan dana desa tersebut, sebelum melangkah lagi kepada rencana pembangunan lain.

Seperti pembangunan jalan tol, yang saat ini menjadi topik hangat antara penguasa dengan rakyat. Antara rakyat dengan rakyat, antara pemerintah dengan pihak investor, antara perpanjangan tangan investor dengan rakyat dengan pemerintah dan segala macamnya. Begitu juga sebaliknya, terlihat berbolak - balik.

Perang - perang ide dan fikiran di kampung - kampung nampaknya kini mulai tidak sesuai dengan pembangunan fisik, meskipun dalam pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) hal tersebut sangat dibutuhkan. Munculnya tokoh - tokoh Minang di era lampau sebagai founding father Republik Indonesia, karena alam fikirannya yang begitu maju. Seperti Tan Malaka yang telah menuliskan bentuk Indonesia dimasa depan, dalam bukunya Naar de Republik Indonesia.

Atau Mohammad Hatta yang telah mewariskan buku Indonesia Merdeka, sebagai gambaran bahwa ide dan pemikiran orang - orang Minangkabau harus sesuai dengan pembangunan Indonesia. Orang Minangkabau tidak bisa menerima sesuatu, yang bukan berasal dari ide mereka, yang bukan keinginan mereka dan bukan sesuatu hal yang mereka kenali. Bahkan Chairil Anwar, yang menulis puisi Karawang Bekasi, rumah gadang Papanya terletak di Nagari Taeh Baruah, Kecamatan Payakumbuh. Salah - satu nagari yang akan dilalui jalan tol.

Bukankah dalam sajaknya Chairil berucap, "bila dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak, kami mati muda. Kenang - kenanglah kami yang tinggal tulang diluputi debu. Beribu kami terbaring antara Karawang Bekasi. Kami sudah beri, kami punya jiwa, tapi kerja belum selesai, belum apa - apa. Belum bisa memperhitungkan arti 4 - 5 ribu nyawa. Kau lah sekarang yang tentukan nilai tulang berserakan. Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan atau bukan untuk apa - apa?" Demikian, Chairil.

Jadi berbicara pembangunan di Sumatra Barat adalah tentang daya serap aspirasi, tentang sikap badunsanak dan bukan pola ego sektoral. Orang Minangkabau dari masa ke masa tak pernah bisa menerima perintah, sukanya memerintah. Karena pola didikan mereka sudah seperti itu, yaitu didikan lapau. Siapa saja mempunyai hak yang sama untuk berbicara, berfikir, bertindak dan memainkan sesuatu. Sesuai dengan keinginan dan kehendak bersama. 

Kembali ke judul, sebenarnya Sumatra Barat perlu pembangunan fisik atau SDM, menurut hemat penulis ; kita membangun fisik dengan melibatkan SDM - SDM Sumatra Barat yang kaya akan ide dan gagasan, "nan buto paambuih lasuang, nan pakak palatuih badia, nan lumpuah pauni jamua, nan cadiak kawan baiyo, nan kayo tampek batenggang itu." Serta libatkan pula, niniak mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang yang merupakan "suluah bendang dalam nagari, ka pai tampek batanyo, ka pulang tampek babarito."

Sederhananya, pemerintah sebagai pengambil kebijakan harus membuka ruang ide dan pemikiran orang Minangkabau untuk memajukan negeri Indonesia Ini. Jangan menutup ruang perdebatan publik, karena hanya akan membangkitkan darah perlawanan. Ingat juga kata presiden Soekarno, bekerjalah seperti orang Jawa, berbicaralah seperti orang Batak dan berfikirlah seperti orang Minang.

Sekali lagi bicara pembangunan di Sumatra Barat adalah tentang daya serap aspirasi. Tentang seberapa dalam kaji, mengenai sendi - sendi kehidupan masyarakat. Seberapa dalam ukuran tingkat kepercayaan masyarakat, kepada pemerintah, investor, pihak asing atau pejabat dan aparat setempat. Bagaimana kentalnya adat, budaya dan penghargaan terhadap nilai - nilai luhur. Intinya seberapa dekat kita mengenal masyarakat Sumatra Barat?

Penulis : Fadli Riansyah Putra 
(Aktivis, Praktisi UMKM)