Oleh: Taufiqurrahman
(Mahasiswa Pasca Aqidah dan Filsafat Islam UIN SMDD Bukittinggi)
Indonesia merupakan suatu negara yang memiliki sifat negara demokrasi. Dalam setiap kehidupan berbangsa, masyarakat selalu ditekankan untuk menjunjung tinggi azas demokrasi tersebut. Adapun salah satu bentuk nyatanya dalam pemilihan pemimpin bangsa ini atau presidennya, Indonesia akan melangsung pesta demokrasi dalam bentuk pemilu untuk memilih pemimpin yang diadakan sekali 5 tahun.
Namun demikian, tidak ada sebuah gagasan yang lahir dari pikiran manusia bisa memberikan hasil yang sempurna, termasuk pemilu ataupun pilkada yang sudah beberapa kali dilakukan semenjak Indonesia merdeka. Persoalan yang sering kali terjadi yaitu terciptanya politik identitas yang membawa agama sebagai narasi jualan dan berujung kepada SARA.
Tidak bisa dipungkiri, Indonesia yang memang menjadi negara tempat berkumpulnya bermacam-macam agama, sangat rentan menciptakan perpecahan.
Lihat saja disaat terjadinya pemilu ataupun pilkada sering kali kita jumpai banyak para politisi yang menjual narasi agama sebagai alat politik untuk membangun simpati para pemilih. Di Payakumbuh contohnya, salah satu kota di Sumatera Barat sering kali dijumpai narasi agama yang bahkan menjadi program-program unggulan didalam kontestasi. Menjadikan agama sebagai baju mereka sudah hal yang wajar terjadi dalam dunia perpolitikan, walau terkadang setelah mendapatkan kursi atau terpilih kebijakan-kebijakan yang lahir tidak menguntungkan bagi masyarakat Payakumbuh yang mayoritas beragama Islam. Oleh sebab itu banyak pada akhirnya yang kecewa dengan pilihan yang telah dipilihnya sendiri.
Persoalan diatas merupakan buah dari sikap-sikap ataupun warna kontestasi yang dimunculkan oleh para politis dihadapan masyarakat. Demi menghasilkan simpatisan yang banyak, terkadang agama menjadi senjata dalam memberi pengaruh dalam menghasilkan perolehan suara. Hilangnya kebijaksanaan akibat nafsu jabatan, dipengaruhi juga akibat kejauhan diri dari ajaran Illahi yang berakibat kepada ambisius buta dalam berkompetisi, sehingga berakhir kepada perpecahan serta konflik diberbagai kelompok masyarakat.
Tentunya masalah ini harus diselesaikan agar tidak menciderai makna dari demokrasi itu sendiri serta perlu juga suatu pendekatan yang relevan untuk memutus mata rantai politik identitas tersebut kedepannya. Dalam hal ini penulis memakai suatu pendekatan yaitu Tasawuf Politik.
Lantas apa hubungan politik dan Tasawuf? Ada kesamaan yang tersemat kedalam dua hal tersebut yakni karena keduanya sama-sama melekat kepada subjeknya. Politik akan melekat kedalam politikus dan tasawuf selalu melekat kepada penganutnya. Serta para jama’ah tasawuf akan melihat suatu fenomena dengan kejernihan ilmunya dimanapun dan kapanpun.
Mentasawufkan Politik
Dalam konteks politik, tasawuf bisa dipakai sebagai jalan untuk mensucikan diri dari perbuatan-perbuatan tercela.
Politik kerapkali menyebabkan manusia semakin jauh dari Tuhan, sebab dalam aktivitas politik kecenderungan para politisi adalah melakukan aksi-aksinya tanpa didasari nilai-nilai agama. Secara umum berlaku pendapat bahwa agama tidak penting di bawa dalam arena politik, karena agama adalah wilayah privat dan politik wilayah publik. Jadi antara urusan privat dan publik tidak menemu jalan.
Tasawuf mengajarkan bahwa cinta kepada Tuhan adalah universal (bermanfaat bagi semuanya), dan bukan sekedar menjalin hubungan vertikal dengan Tuhannya. Kekuasaan ditempatkan sebagai gagasan tertinggi jika tujuannya untuk kebaikan dan memberikan manfaat. Jika politikus sadar dan menempatkan politik sebagai jalan menuju kepada tuhan, alangkah indahnya wujud demokrasi di Indonesia.