Catatan Perjalanan Payakumbuh - Jakarta

Foto gambaran erupsi Marapi tanggal 07 Januari 2024




Oleh; Fadliriansyah 

Layar HP menyala, diiringi getar. Terlihat nomor tak dikenal menghubungi via whatsapp.

"Besok ada acara bang ? Kalau ga sibuk, bisa ke Jakarta besok?," Sahut nomor yang kemudian memperkenalkan dirinya adalah salah seorang rekan kerja ku.

Tepat besoknya lagi, pukul 07.00 WIB dua kali nomor yang ku kenal menelpon, ia seorang pimpinan tinggi di perusahaan !

"Jadi bisa ke Jakarta hari ini, kalau bisa beritahu lah keluarga, sekalian kirim rekening, kita belikan tiket," sahutnya.

Lantas aku bertanya dengan nada agak terbata - bata, "ke, keperluan apa ya pak ?" Balasku.

"Ada seorang senior yang harus ditemui, untuk mengasah kemampuan, kalau hendak menulis buku buat bapak juga," terangnya.


"Baik, pak. Siap." Ujarku.

"Oke, selamat menikmati perjalanan, beritahu istri dan temui si Em di Jakarta, dan ini hanya kita saja yang tahu," sebut bapak itu.


Oke, perjalanan ke Jakarta segera ku persiapkan. Baju di packing istri, aku siap - siap beli tiket.

Namun keadaan di Sumatra Barat, sedang tidak baik - baik saja, bandara ditutup akibat erupsi gunung Marapi. Terpaksa penerbangan ditunda satu hari. Meski begitu, harga tiket melonjak naik.

Barangkali di akhir pekan, aku berangkat pada Minggu, 7 Januari 2024, pesawat pukul 17.45 WIB. Disini terasa sekali kapitalisasi maskapai penerbangan, "harga tiket pagi ketika di cek masih di angka 1,2 juta , sedangkan sore nya sudah 1,7 juta. Owalah," gumamku.

Namun perjalanan itu harus tetap ku tempuh, karena waktu sudah kasib. Belum lagi ongkos travel yang melambung, akibat kenaikan harga BBM itu.

"Ya, selama 10 tahun aku tak pernah terbang lagi, kalau dulu sering bolak balik Medan, Jakarta dan Padang. Tiket kala itu, masih sekitar 500 ribuan."

Diperjalanan menuju Jakarta dengan pesawat Citylink, aku duduk di kursi 12 A, di sampingku adalah seorang anak muda seusia ku. Ia bekerja sebagai relawan di BUMN.

Bersama nya, lama kami bercerita, tentang kehidupan orang - orang di pedalaman Papua, Mentawai, Aceh dan daerah - daerah lain. Karena teman ku itu, memang ditugaskan untuk mengelola CSR BUMN untuk kemudian dijadikan program pemberdayaan masyarakat.

Perjalanan selama 1 jam 30 menit, kami lewati dengan berbagai cerita, hingga tentang keluarga, rupanya dia baru menikah sebulan yang lalu, tapi karena tugas terpaksa harus meninggalkan istri nya untuk seminggu.

***

Sampai di Jakarta, pukul 19.30 WIB
Rupanya tak ada jemputan, seperti layaknya aku pernah ke Jakarta dan medan sebelumnya. Perjalanan kali ini, aku dipaksa mandiri.

Tapi tidak apa - apa juga, hitung - hitung nanti buat bisa bantu keberangkatan keluarga dan teman - teman lainnya. Meski tak dijemput, aku diarahkan dengan baik.

Anggara, temanku tadi bersikap baik untuk mengarahkanku. Menyuruhku membeli tiket Trans Jakarta, menemani ku menunggu jadwal keberangkatan ke lokasi tujuan di Kalibata. 

Sampai akhirnya pukul 21.30 WIB mobil Trans Jakarta ke Kalibata datang, kami pun berpisah. Anggara tujuannya ke Cibinong, tak lupa kami saling tukaran WA dan IG.

Sampai di Kalibata, sesuai petunjuk dari Mr. Em yang rekan kerjaku itu, aku naik Gojek ke alamat yang diberikan. 

Namun sebenarnya senior yang hendak aku temui itu, telah lama aku mengenalnya, kami badunsanak. Sesuku. Orang nya baik, berilmu dan sangat ramah.

Sehingga aku merasa berada di tempat yang tepat. Ada nafas baru bagiku untu upgrade diri ! 

Sesuai harapan, pekerjaan selama di Jakarta kami lakukan bersama - sama. Akhirnya setelah 3 hari sudah mulai ada hasil, apa yang kami rencanakan. Sebuah terobosan baru di dunia tulis - menulis.

Setelah semua pekerjaan selesai, rekan kerjaku balik. Sedangkan aku masih bertahan di Jakarta, menikmati suasana dan terus menimba ilmu bersama Dunsanak ku itu. 

Sampai akhir nya, tak terasa waktu 10 hari telah aku habiskan di Kalibata, Jakarta Selatan. Merasa sudah tak adalagi yang harus ku temui di Jakarta saat itu, dan rindu kepada anak - istri serta keluarga di Payakumbuh tak bisa ku elakkan.

Maka langkah terbaiknya adalah ku putuskan untuk balik pulang.

Dengan niat aku sebulan lagi harus balik kesini lagi, karena masih banyak hal - hal yang harus ku pelajari. 

Senior ku juga mengizinkan untuk pulang, meski sedikit menahan, sama - sama berat untuk berpisah. Namun ku yakinkan, aku pasti balik, setelah urusan kerja selesai juga di daerah.

Pagi itu sekitar pukul 07.00 WIB tepat tanggal 15 Januari, di kampungku sedang berlangsung upacara peringatan peristiwa Situjuah, mata rantai Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Aku putuskan untuk balik dengan buss, karena berbagai alasan. Pertama, telinga ku tak kuat dengan dengung suara mesin pesawat. Ke dua, tak terima dengan sikap kapitalisme maskapai penerbangan.

Ke tiga, ingin merasakan suasana jalan darat dari Jakarta ke Padang, kata orang jalan sudah mulus itu. Ke empat, ingin menenangkan diri, mengingat - ingat kaji dan merasakan urat nadi kehidupan masyarakat bawah.

Benar saja, semua yang ku inginkan itu rasanya ku dapatkan. Di terminal Kampung Rambutan, aku sampai sekitar pukul 08.00 WIB, jadwal keberangkatan pukul 08.45 WIB.

Jadi sejenak bisa bersantai, fikirku sambil menukarkan tiket elektronik yang sebelumnya aku beli dengan tiket fisik di loket. Buss yang aku pilih adalah Gumarang Jaya.

Meskipun banyak yang merekomendasikan buss terbaru, Sembodo, namun aku tak tertarik dengan konsep tiduran itu. Aku lebih memilih "Maunjua Class, Gumarang Jaya."

Termasuk karena alasan primodialisme, bahwa yang aku tahu pemilik Buss Gumarang adalah orang Agam di nagari Gumarang, Kecamatan Palembayan ( kalau tak salah ).

Di terminal aku diarahkan porter, duduknya disini dan tukar tuketnya disana, ia tunjukkan semua. Di tiket fisik, rupanya ditulis berangkat pukul 09.30 WIB.

"Tak apa - apa," gumamku.

Kecemasan tak membawa oleh - oleh khas Jakarta, juga terselesaikan di terminal itu, banyak sekali pedagang asongan disana yang menawarkan dodol Jakarta. Sehingga langsung ku beli, untuk buah tangan di rumah nanti.

Jadwal keberangkatan tiba, aku duduk di kursi pilihan yaitu nomor 27, sesuai tanggal lahirku. Sebenarnya saat membeli tiket online, hanya tersisa 10 kursi lagi.

Tapi rupanya, saat hendak mau berangkat, justru hanya 10 kursi yang terisi, selebihnya tak ada pemilik. "Barangkali ini pula strategi penjual tiket itu," fikirku.

Karena kondisi itu, akhirnya aku bisa duduak di kursi mana saja yang aku sukai. Bebas memakai selimut atau bantal mobil berapa pun. Walau yang aku pakai hanya 2 selimut dan 2 bantal. Tapi asyik, kita bebas !

Dari terminal Kampung Rambutan, mobil bertolak menuju Tangerang, di terminal disana berhenti sebentar menjemput penumpang. Aku kira bakal penuh, ternyata hanya satu, seorang anak muda asal Tiku, Agam. 

Sekitar 10 menit disana, mobil bertolak lagi menuju pelabuhan Merak, bersiap naik kapal feri. 

* Bersambung ...