Kekerasan oleh Remaja dan Gagalnya Pendidikan Keluarga




Oleh : Meli Fitri Yani
Selasa, 07 Mei 2024 14:30
 
Jakarta, SagoNews.com - Berita kekerasan antar remaja yang berulang kali muncul akhir-akhir ini bisa jadi merupakan tanda awal kegagalan pendidikan dalam keluarga dan institusi pendidikan. Penting untuk mencari akar masalahnya dan solusinya.
Kekerasan antar remaja ini sering disebut sebagai peer to peer violence dan bullying.

Data kekerasan antarremaja sulit didapatkan karena umumnya penelitian yang ada tentang kekerasan remaja dan anak-anak sebagai korban. Bukan remaja sebagai pelaku.

Hal ini didukung Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang bertujuan utama untuk melindungi anak sebagai korban.

Berita kekerasan antar remaja sampai pada tindak kriminal sering membuat orang dewasa geleng-geleng kepala karena tidak pernah terpikir bahwa remaja mampu melakukan tindakan keji dan sadis. Ada apa dengan remaja kita?

Pada masa remaja, penerimaan dan pengakuan teman-teman sebaya berpengaruh besar dalam pembentukan identitasnya. Apabila nilai-nilai yang dipegang oleh teman sebaya berbeda dari nilai-nilai yang diajarkan oleh orangtua, remaja berpotensi mengikuti nilai-nilai baru dari teman-temannya demi untuk bisa menjadi bagian dari kelompok.

Apabila ia berada dalam kelompok sebaya yang mempunyai nilai-nilai luhur, remaja mampu menumbuhkan rasa kesetiaan dan ketaatan. Sebaliknya, jika ia berada di kelompok yang salah, remaja akan mengalami kebingungan dalam peran sosialnya (role confusion). Ia tidak yakin bagaimana bisa diterima oleh lingkungannya.

Orangtua punya kewajiban sosial dan moral untuk membimbing anak-anaknya menjadi manusia berguna dengan menanamkan nilai-nilai kehidupan.

Sebetulnya berada di kelompok yang salah tak selalu membuat remaja ikut-ikutan dalam perilaku tidak benar kalau ia memiliki bekal nilai-nilai etika dan kehidupan yang diberikan oleh orangtuanya. Ia mampu menyadari berada di tempat yang salah dan segera memutuskan keluar dari pergaulan itu.

Pepatah mengatakan, pergaulan yang buruk mampu merusak kebiasaan yang baik. Dan kebiasaan baik ini umumnya ditanamkan orangtua sejak anak masih belia. Orangtua punya banyak kesempatan untuk memberi nilai-nilai luhur kehidupan kepada anaknya.

Orangtua punya kewajiban sosial dan moral untuk membimbing anak-anaknya menjadi manusia berguna dengan menanamkan nilai-nilai kehidupan. Ini biasanya dilakukan sebelum anak memasuki masa akil balig karena anak menghabiskan banyak waktunya di rumah dan hanya beberapa jam saja di sekolah.

Sayang sekali, tidak semua orangtua melakukan amanah mulia ini dan memanfaatkan masa-masa kebersamaan tersebut secara optimal. Alasan klasiknya, tidak punya waktu, tidak menyadari pentingnya pendidikan anak dalam keluarga, sadar tetapi tidak merasa kompeten, atau merasa bahwa sekolah adalah pihak yang paling kompeten memberikan bekal tersebut.

Padahal, masa sebelum akil balig adalah kesempatan emas orangtua menanamkan nilai-nilai moral dan etika.

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat (1) menyatakan, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.

Pendidikan itu sendiri bisa diajarkan dalam tiga bentuk. Pertama, pendidikan formal di institusi pendidikan formal. Kedua, pendidikan nonformal diselenggarakan organisasi di luar institusi pendidikan formal. Dan ketiga, pendidikan informal yang diajarkan dari dalam keluarga dan masyarakat.

Penulis ; Mahasiswi STAIDA Payakumbuh