Dua Instansi Yang Tidak Boleh Terlampau Diusik



Limapuluh Kota, SagoNews.com - Nasehat dari seorang guru, sebenarnya lebih kepada Uda atau kakak walau tidak kandung, tapi lebih dari saudara. Karena malu bila menjadi muridnya tapi masih jauh dari ilmunya, lebih baik saya cerita saja, ini adalah nasehat dari seorang Uda tentang ilmu jurnalistik.

Dua profesi atau instansi yang tidak boleh terlampau diusik. Pertama adalah rumah sakit dan kedua adalah tempat sekolah.

Uda saya itu hanya bicara sampai disitu, setelah saya telusuri ternyata alasannya  siapa pun kita, apa pun pangkat dan jabatan kita, suatu saat pasti akan berurusan dengan dua instansi tersebut, bahkan dalam waktu yang lama.
Prinsip kehidupan adalah berkesinambungan, atau yang dikenal dengan relasi. Sudah wataknya manusia untuk bersosialisasi, apabila kita dipersulit oleh ke dua instansi tersebut maka, segera lah maafkan! Maklumi keadaan personelnya, maklumi keadaan alat dan sistemnya.

Semua kelalaian dalam dunia pendidikan dan kesehatan itu, bukanlah murni karena nurani oknumnya. Tetapi lebih kepada alat dan sistem, disini kita hanya dituntut untuk lebih bersabar.

Uda saya itu, sebenarnya berbicara karena pengalaman. Anaknya pernah dirawat, tidak mendapat pelayanan dengan baik, akhirnya pindah rumah sakit. Setelah anaknya sembuh beberapa bulan setelah itu, Uda menyadari kalau dokter yang bertugas di rumah sakit itu, adalah anak dari seorang pejabat yang kasusnya pernah dia ungkap!

Sebenarnya kalau soal rumah sakit saya mengerti, tapi kalau soal pendidikan baru - baru ini nasehat Uda agak panjang lebar, "tidak ada juga untungnya bagi kita, walau pun kita ibadahnya juga masih susah, tapi kita harus ingat akan kebaikan - kebaikan yang disebar dan disebabkan oleh tempat pendidikan itu," ucap Uda kepada saya.

Dari sana saya mulai paham, bahwa sebenarnya jika nasehat Uda yang sepotong - potong ini dikaji lebih dalam, semuanya ketemu dengan kearifan hidup. Ketemu dengan nasehat Buya Hamka, "mata melihat alam, hati melihat tuhan."

Waktu dulu tamat SMA saya minta diajarkan menulis, dia hanya meminta contoh tulisan saya. Uda hanya melihat dengan raut wajah senang tanpa bicara bagus atau jelek, walau pun sekarang saya sadari tulisan waktu itu sangat jauh dari kaedah jurnalistik.

Uda hanya menyuruh saya, "banyak - banyak membaca," kalimat itu diulanginya sebanyak tiga kali. Baru sekarang saya mengerti, bahwa menulis bukan hanya sekedar tata bahasa, susunan kata, permainan naluri dan logika. Jauh dari itu, menulis adalah soal membaca!

Di Minangkabau sejak dini sudah ditanamkan kepada generasi, supaya pandai melihat yang tersurat dan yang tersirat. Hanya saja, gaya bahasa setiap manusia berbeda - beda.

Fadli Riansyah