Koto Rajo : Rahim Sibungsu Nan Terlupa


SagoNews.com - Kawasan Koto Rajo di perbatasan Luak nan Bungsu dan Luak nan Tuo menyimpan misterinya sendiri. Berdiri di rimba belantara, Rumah Gadang yang diyakini sebagai pijakan awal turunnya nenek moyang orang Luak nan Bungsu (Kabupaten Limapuluh Kota-red) itu, kekal dengan kesunyian. Tidak ada perhatian dari pemerintah untuk melindungi aset berharga itu. Seakan Koto Rajo sengaja terlantar. Sengaja dipelepas begitu saja. Dibiarkan runtuh membawa kumpulan sejarah yang terkandung dalam keberadaannya. Padahal, jika dikembangkan, kawasan Koto Rajo bisa disulap sebagai kawasan cagar budaya.


Jangan tanyakan keberadaan Koto Rajo kepada orang Padangpariaman, Dharmasraya atau ke orang Pangkalan, Mungka, juga Kota Payakumbuh. Walau sarat makna dan sejarah, mereka tidak akan tahu. Sebab, Pemkab Limapuluh Kota tampaknya memang masih malu-malu “menjual” Koto Rajo ke khayalak. Mungkin saja, hanyalah para tetua kampung, segelintir kawula muda di Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Limopuluah Kota, tempat rumah gadang itu berdiri, yang tahu dimana Koto Rajo.

Koto Rajo memang sulit dicari. Tidak akan ditemui dalam peta kawasan wisata . Letaknya tersuruk di Rimbo Situjuah, tepatnya di Jorong Ateh, Nagari Ladangloweh, Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Limopuluah Kota. Letaknya, hanya beberapa ratus meter dari pancang perbatasan Kabupaten Limopuluah Kota – Tanahdatar. Tidak ada jalan khusus menuju ke sana, petunjuk arah atau pemandu jalan. Jika ingin ke sana, harus berpandai-pandai dengan penduduk lokal. Nekat, bisa saja tersesat, sebab menuju Koto Rajo, mesti menyisir pematang sawah, menyibak rerimbun hutan dan melangkahi sungai-sungai. Di Pinggang Gunung Sago. Ada pula dimana harus melewati perkebunan kulit manis, kayu surian dan coklat. Setiba di suatu lembah di Hulu Batang Babuih ada persawahan penduduk yang diapit tebing curam perbukitan anak dari Gunung Sago. Di situ Koto Rajo.

Jika diartikan secara harfiah. Koto berarti Kota, tempat atau kawasan. Rajo adalah raja. Artinya, Koto Rajo adalah kotanya raja. Tempat bermukim seorang raja muda dari Pagaruyuang yang berdiam di Koto Rajo untuk memantau daerahnya. Tersiar pula, Koto Rajo adalah daerah pertama yang dibuka sebagai pemukiman di Kabupaten Limopuluah Kota. Untuk selanjutnya, menyebar ke Sayangnya, segala cerita tentang Koto Rajo tidak memiliki sumber yang kuat.

Kalau berpijak pada tambo, jelas Koto Rajo bukan sekadar daerah singgahan. Nama Koto Rajo disebut dalam Barih Balabeh Luak Limopuluah. Masuk ke wilayah Situjuah, sebagai daerah hulu. Ada juga petitih yang menyebutkan pentingnya Koto Rajo : “Bajonjang ka Ladang Laweh, bapintu ka Sungai Patai. Indak ka mungkin kusuik indak salasai, ujuang jo pangka nan tak jaleh. Bajonjang juo ka Sungai Potai, batu sandaran di Koto Rajo, kok iyo kusuik kadisalosaian, ujuang jo pangka nan lah basuo”.  Jika boleh diartikan, Koto Rajo dulunya adalah kawasan untuk barundiang.Menyelesaikan masalah yang pelik di Luak nan Bungsu. Tempat

Berada di sana, kita seakan kembali ke masa silam, dan berpikir keras, bagaimana bisa di tengah hutan lebat ada rumah gadang? Siapa yang mendirikan, untuk apa? Kenapa ditinggalkan? Bukankah rumah gadang itu tempat berdiamnya suatu kaum? Tapi sayang, pertanyaan itu tidak akan terjawab. Belum ada sejarah tertulis, literatir sahih yang menyibak keberadaan Koto Rajo. Lagi-lagi, Pemkab Limapuluh Kota yang semestinya membuka sejarah itu, sampai kini belum tergerak.

Pemilik akun facebook Syaiful Guci mengisahkan, rumah gadang yang ada di Koto Rajo adalah milik kaum Datuak Perpatiah Nan Sabatang. Bangunan itu dibuat sekitar tahun 1816-1821.  Syahrul Erman memangku sako yang ke-11 gelar Datuak Perpatiah Nan Sabatang memaparkan kepada Syaiful Guci, bahwa rumah gadang ini dibangun setelah terjadinya peristiwa Koto Tangah 1815 suatu peristiwa pembunuhan keluarga Raja Pagaruyuang, dan sebagian keluarga Raja Pagaruyuang lari kesini.

Tidak jauh dari halaman rumah gadang terlihat susunan sembilan batu masing-masing terdiri dari satu tempat duduk dan sebuah sandaran yang di sebut dengan batu Kadudukan Rajo. Kadudukan terbuat dari lempengan batu setebal sekitar 10 centimeter. Lempengan batu tersebut terbuat dari sebuah batu besar yang berlapis secara alamiah. Masyarakat menyebut batu dorong-dorong. Untuk mengambil lempengan batu itu cukup dengan mengungkit. Tempat duduknya diletakan di atas tanah seperti batu tapak dibawah tangga rumah gadang. Besarnya sekitar 45 centimeter x 35 centimeter dan sandaran hampir sebesar itu pula ditancapkan hingga merupakan sebuah kursi tanpa kaki. Kesembilan batu Kedudukan Rajo tersebut disusun tiga berjejer dengan jarak sekitar 1 meter membelakangi Gunung Sago.

Tiga batu lainnya menghadap Gunung Bungsu sehingga kelihatan berhadap-hadapan. Di sisi utara ada berjejer dengan jarak 1,5 meter menghadap selatan. Salah satu yang agak besar dan agak tinggi persis menghadap utara berada di bawah pohon beringin inilah yang dinamakan Batu Sandaran Rajo.  “Beringin besar yang menaungi Batu Sandaran Rajo ini tumbang pada tanggal 28 Februari 2007 tepat disaat Istano Pagaruyuang Terbakar, “ cerita Dt.Perpatiah Nan Sabatang.

Tak jauh di sebelah utara berjarak 6 meter ada perumahan Balai Adat Nagari. Kemudian di sebelah Timur melintasi sebuah lembah yang sedikit mendaki dengan jarak sekitar 700 meter ada perumahan mesjid dan beberapa rumah gadang dengan beberapa lesung batu. Menurut Sumir Husin Datuak Mangkuto Nan Panjang, mantan Wali Nagari Situjuah Ladang Laweh, pada tahun 2008 mengatakan kepada penulis kalau Koto Rajo berasal dari kata Rajo berawal dari datanglah pesan dari Raja Sultan Alam Bagagarsyah (setelah beliau diangkat Regen Tanah Datar oleh Belanda). Beliau ingin datang untuk melihat keluarganya , maka diadakanlah persiapan penyambutannya diantaranya membuat Batu Kadudukan Rajo.  

Kedatangan Sutan Alam Bagagarsyah tidak banyak yang mengetahuinya, karena masyarakat sudah pindah ke Ladang Laweh, perpindahan ini akibat berkecamuknya perang saudara. Hanya seorang Ninik Mamak Datuak Jangguik Omeh yang hadir. Kepadanya Sultan Alam Bagagarsyah bertitah dan memberi pakaian berupa Payung Panji berwarna kuning emas, keris dan pakaian kebesaran. Kemudian Datuk Jangguik Omeh ini menyampaikan pesan kepada ninik mamak di Situjuh Ladang Loweh lainnya. Beliau menyatakan dirinya sebagai Wakil Raja Sutan Alam Bagagarsyah dari Pagaruyuang. Sejak itulah daerah ini bernama “Kato Rajo” yang kemudian berubah menjadi “Koto Rajo”

Di Koto Rajo ini disamping batu Kadudukan Rajo juga ditemukan Perumahan Balai adat Nagari, Perumahan Mesjid dan beberapa Perumahan rumah Gadang dengan Lesung Batunya. Bahkan satu diantaranya masih utuh walaupun tak didiami lagi. Kalau kita lihat dari temuan-temuan yang ada disini , daerah merupakan perkampungan penduduk  dulunya, berkemungkinan perkampungan yang pertama dari Ladang Loweh atau telah menjadi koto atau nagari. Karena menurut adat, yang harus dipunyai suatu koto seperti diungkap barih balabeh berbunyi : “ Babalai bamusajik, basuku banagari, bakorong bakampuang, bahuma babendang, basawah baladang, bahalaman bapamedanan dan bapandam pakuburan “ persyaratan ini dipenuhi dan mempunyai tapak bekasnya di Koto Rajo ini

Adapun mesjid di Koto Rajo ini sampai perang saudara (PRRI 1958), masih digunakan untuk sholat Jumat. Berarti pada waktu itu orang ramai di sini. Hal itu diperkuat lagi oleh Sumir yang mengatakan setiap persukuan yang ada di Situjuah Ladang Loweh punya tasapan jarami, punya ladang dan perumahan di Koto Rajo. Suku-suku yang ada di Situjuah Ladang Loweh yang punya harta pusaka di Koto Rajo diantaranya suku IX Koto Piliang dengan Datuak Rajo Mangkuto sebagai kaampek sukunya. Suku IV Niniak Pitopang dengan Datuak Paduko Sindo, Suku IV Paruik Malayu Datuak Lelo Anso dan terakhir suku  VI Jurai Caniago Datuak Sinaro Kayo.

Dari Koto Rajo ini , apabila diteruskan perjalanan arah ke Selatan melalui sebuah jalan setapak sampailah di Sungai Patai Kecamatan Tanjung Sungayang Kabupaten Tanah Datar, hingga didalam masyarakat setempat mempameokan : Bapintu ka Ladang laweh Bajanjang ka Sungai Patai”.


******

Ironisnya, saat ini Koto Rajo tercecer. Tak ada yang peduli keberadaanya. Sampai di sana, Pengunjung akan langsung dihadapkan dengan rumah gadang yang mulai rapuh. Dinding kayunya sudah lapuk, dimakan usia. Rayap ikut menjamah beberapa bagian kayu bangunan. Atapnya yang dipasang tanpa menggunakan paku juga sudah banyak yang lepas. Demikian, tiang penyanggah rumah gadang masih utuh berdiri di atas lempeng batu alam. Layaknya rumah gadang, tiang-tiangnya tidak dibenamkan ke tanah, tapi ditegakkan di atas lempengan batu alam. Teknik ini dipercaya untuk meredam agar rumah gadang bisa bertahan ketika ranah di guncang gempa

Meski memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai lokasi wisata, namun sayangnya kondisi demikian belum menggerakan hati Pemkab Limopuluah Kota. Hingga sekarang, Koto Rajo masih saja terasing di tengah rimba belantara. Koto Rajo, menunggu kepedulian kita semua. (*)

Sumber : Maharadjo.wordpress.com