Peran Tan Malaka dalam Memicu Semangat Heroisme Jurnalistik dan Kolumnis Indonesia

Kamis, 22 Februari 2018

Oleh: YH. DT. MONTI
Foto Tan Malaka (dikutip dari web)



Barangkali tak banyak yang bisa diingat atau menjadi bahan catatan tentang peran serta Tan Malaka terhadap dunia jurnalistik atau kewartawanan di Indonesia, selain secuil kenangan yang sempat dituliskan Rosihan Anwar, seputar kehadirannya saat pembentukan dan peresmian Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) 1946.

Sebagaimana yang pernah dituturkan oleh Rosihan Anwar, mengenai kedatangan sosok fenomenal tersebut, yakni Tan Malaka datang dalam acara, tanggal 8 Februari 1946 itu. “Tan Malaka berpakaian serba hitam. Serupa pemuda pejuang masa itu, ia memakai sepatu Kaplaars. Ia memakai topi helm tropis berwarna hijau muda.”

Itu satu-satunya momen Rosihan melihat "Bapak Republik" Tan Malaka. Namun, seperti banyak wartawan yang hadir dalam acara itu, ia tak mampu menyimak dengan baik dan lengkap perihal yang disampaikan Tan Malaka dalam pidatonya di hadapan para wartawan.

“Tan Malaka masuk ke dalam ruangan tempat para wartawan telah berkumpul. Ia menuju mimbar, lalu berpidato. Tidak pakai teks yang biasanya dipersiapkan oleh seseorang dalam berpidato, seluruhnya di luar kepala. Lamanya hampir empat jam nonstop. Ia bercerita tentang riwayatnya mengembara di mana-mana. Topik yang disentuhnya berkenaan dengan apa yang ditulisnya dalam buku Madilog, yakni materialisme, dialektika, dan logika,” ingat Rosihan sebelum ia juga akhirnya terlelap.

Seingat Rosihan Anwar, ketika itu para wartawan habis pulang dari berbagai front. Mereka terlalu lelah untuk mendengar. “Sudah tertidur saking lelahnya, ketika Tan Malaka selesai dengan pidatonya, saya sudah bangun lagi dan sempat menggiringkan Tan Malaka ke mobilnya.”

Walau hanya sekadar cuplikan keberadaan Tan Malaka dengan Persatuan Wartawan Indonesia, namun tentu banyak hal yang semuanya bermuara kepada upaya memicu semangat kemerdekaan 100%.

Tan Malaka malah lebih banyak dikenal lewat kepenulisannya yang sangat penuh dengan muatan agitasi pemicu semangat perjuangan melawan penjajahan, sejak tahun 1920 atau 4 tahun sebelum runtuhnya kejayaan kekahlifahan Ustmaniyah pada tahun 1924, dimotori oleh Kemal Pasha (Kemal At Tarturk).

Jika dihitung pada tahun Tan pertama kali menginjakkan kakinya di Harlem pada tahun 1913, Tan sudah melakukan serangkaian aksi, baik berupa pemikiran yang dituliskan dan beredar di berbagai media yang ada pada zaman tersebut. Berkisar pada tahun 1916, produktifitas Tan sebagai sosok seorang pemikir dan sekaligus pelaku pergerakan, membuat beliau sudah menjadi sasaran media masa di berbagai negara, terutama di tanah air.

Persentuhan Tan dengan Central Comunist International yang berpusat di Rusia, membuat beliau lebih giat menyuarakan perjuangan kemerdekaan bagi Bangsa Indonesia. Maka tak mengherankan, jika dalam usia yang sangat muda, Tan sudah menjadi salah seorang Ketua Comunist International (Comintern) khusus untuk Asia Timur Jauh, meliputi China, Hongkong, Thailand, Bhurma, Vietnam, Philipina, Malaysia, Singapura, Indonesia dan Australia. Tentu Tan Malaka merupakan buruan bagi wartawan yang tentunya pro terhadap kemerdekaan.

Walau bukan sebagai seorang wartawan yang bekerja sebagai pembuat berita, namun Tan selalu menjadi Headline bagi media massa tentang sepak terjang maupun pemikirannya yang dirilis media massa.

Merdeka Seratus Persen

Jika kita membayangkan, bagaimana situasi setelah Proklamasi Kemerdekaan atau 8 Februari 1946, yakni saat pertama kali Persatuan Wartawan Indonesia di Deklarasikan. Tentu akan mendapat gambaran, bagaimana kondisi wartawan yang teramat sangat lelah, karena bukan hanya bertugas memanggul senjata berupa pena, namun juga sekaligus mengangkat senjata sebagai pejuang yang berperang di medan pertempuran pada garis depan.

Wajar saja jika kondisi lahir bathin para wartawan pejuang kemerdekaan, teramat sangat lelah. Bahkan bersyukur masih bisa hadir dalam acara seremonial tersebut. Tak lah akan mengherankan, jika pidato Tan Malaka yang memakan waktu 4 jam tersebut, banyak yang terlelap. Namun setidaknya, gambaran tentang pidato yang dikemukakan Tan Malaka pada masa itu, jelas berangkat dari pemikiran beliau yang tertuang dalam berbagai buku dan brosur, seperti Menuju Republik Indonesia, dan Madilog yang masih belum berupa sebuah tekstual sempurna dalam bentuk buku.

Dalam pemaparan Tan Malaka seputar Jurnalistik, jika memang dalam pidatonya lebih mengemukakan soal MADILOG, tentu akan mengaitkan juga pada pemikirannya tentang Republik sebagaimana buku yang pernah dirilisnya Naar de Republik Indonesia. Yakni gagasan tentang Negara Indonesia yang Merdeka 100%. Karena pada masa itu, Tan Malaka masih menganggap Proklamasi Kemerdekaan yang dikumandangkan Soekarno-Hatta, belum sempurna seutuhnya. Setidaknya hal tersebut terbukti ketika Agresi Belanda ke dua, berhasil menjajah Republik Indonesia pada September 1948 sehingga melahirkan perundingan ke perundingan sampai pada tahun 1949 dan dibunuhnya Tan Malaka sekitar 21 Februari 1949.

Pers yang Independen dan berpihak kepada orang Indonesia asli serta Perjuangan Kemerdekaan 100%, adalah gambaran yang tepat, jika Tan Malaka mengemukakan persoalan Pers dengan MADILOG. Karena sangat jelas sekali, bahwa dalam kitab pamungkas Tan Malaka tersebut, seorang wartawan harus mampu Independen, mengusai pengetahuan dan memiliki referensi yang cukup, mengkomparasi atau 'chek and balance' sebuah berita, serta melakukan analisa terhadap sesuatu yang akan diberitakan atau pada hari ini orang menyebutnya dengan metode SWOTT, selain  5 W + 1H.

Sisi terpenting dari tulisan singkat ini, Tan Malaka sangat konsern denga Pers yang anti Kapitalisme, kolonialisme dan feodalisme. Karena jika hal tersebut tidak terpakaikan dengan baik dalam prinsip pers yang idealis, bisa dipastikan, ke arah mana kiblat hari ini dan yang akan datang. Yakni Idealisme Pers yang berpihak kepada Rakyat Indonesia bukanlah kepada kekuasaan.