Episode 3 Novel Dera Serial Menuju Langit



Lalu, Ia putuskan untuk mengambil wudhu', sambil menunggu azan berkumandang, Ia laksanakan shalat sunnah. Diantara jeda itu, Ia teringat pula kenangan masa kecilnya. Ia sering hidup berpindah - pindah. Setelah Ayahnya pulang dari Galugua, keluarga Dera menetap di rumah Umi Ubayani selama dua tahun. Setelah itu, mereka pindah ke Banda Dalam. Numpang di rumah gadang, pesukuan Dera dan Ibunya.

Hari itu Selasa, tahun 1999. Dera, Ayah dan Ibunya, diminta untuk pindah ke rumah gadang oleh Bundo Kanduang kaum. Sebab di Minang, tidak bagus bila seorang anak tinggal di rumah bako, alias keluarga ayah. Di Minangkabau memang terkenal dengan garis keturunan dari Ibu, atau matrelinial, kaum Ibu berkuasa penuh atas hak warisan. Sedangkan kaum Bapak hanya berhak atas penggarapan, "Ayah Dera kan belum punya pekerjaan, bagaimana kalau pindah ke Banda Dalam, disana kita punya sawah, untuk digarap." Bujuk seorang Bundo Kanduang kepada Ibu dan Umi Ubayani.

Muluik manih, kucindan murah. Budi bayiak, baso katuju. Umi Ubayani mengizinkan anak, menantu dan cucunya pindah ke Banda Dalam. Meski sebenarnya agak keberatan, sebab selama ini Umi Ubayani tidak ada permasalahan, walau anaknya masih menganggur, nganggur dalam artian tidak pegawai. Ayah Dera sebenarnya bekerja, Ia bekerja di sawah dan bercocok tanam di ladang, milik Umi Ubayani.

Ibu Dera mengikut saja, sebab Bundo Kanduang kaum betul yang membawanya, dikarenakan kaumnya bertanggung jawab dengan kehidupan mereka. Itu juga titah, Mak Salami Penghulu suku kaum Dera dan Ibu. Keesokan harinya mereka pindah, jaraknya hanya lima kilometer saja, tapi itu cukup jauh juga bila tak pakai kendaraan. Akhirnya semua barang keluarga Dera diangkut dengan jasa ojek, bergiliran ojek naik turun mengantarkan barang - barang mereka ke Banda Dalam.

Di halaman rumah gadang terlihat sepi, tidak satu pun keluarga Dera menanti. Hati Ibu Dera mulai berdebar, Nalurinya berkata janji Bundo Kanduang tak benar. Mereka takkan diperhatikan, sebagaimana mertuanya memberikan perhatian, juga jaminan kehidupan. Firasat serupa itu bukanlah hayalan, apalagi hasutan setan. Ibunda Dera sungguh paham, tatanan hidup dan kehidupan sanak keluarganya.

Ketika Ia pilih untuk menikah dengan Ayah Dera, di tahun 1993. Tak satu pun keluarganya yang setuju, karena Ayah Dera masih menganggur di mata mereka, walau sebenarnya Ayah Dera bekerja di sawah dan menggarap ladang. Itu bukan kerja bagi mereka, kerja bagi mereka adalah di kantor, jadi PNS atau jadi angkatan. Ah, sungguh mindset orang terjajah.

Pernikahan Ayah dan Ibu Dera masih berlangsung, walau tanpa persertujuan keluarganya, namun Kakek Dera, Buddin Ayah dari Ibu Dera setuju - setuju saja. Toh dia juga yang akan jadi wali nikah, tetapi pernikahan orang tua dera memang tergolong sederhana, maharnya hanya seperangkat alat shalat dibayar tunai dan uang senilai duaribu tujuhratus rupiah. Haha, mahar yang luar biasa!

Mahar bukanlah jumlah, tapi mahar adalah sarat sah nikah yang harus dipertanggung jawabkan. Dengan seperangkat alat shalat, berarti Ayah Dera dituntut untuk membimbing keluarganya selalu beribadah, taat agama. Dengan mahar uang senilai ribuan rupiah, berarti Ayah Dera dituntut pula untuk giat bekerja. Jelas sudah sah nikah mereka.

Kini, keluarga lama nan hilang itu memanggil kembali. Katanya untuk mereka ayomi, dijamin kehidupannya. Mulai dari tempat tinggal, pekerjaan dan sekolah Dera. Sekarang mereka dimana? Saat Ibu Dera membawa keluarganya, kepada keluarga yang dulu pernah mengabaikan hidupnya. Tak ambil pusing, Ibu Dera menaiki jenjang rumah gadang, diletakkannya barang - barang. Menurutnya, Ia masih pemilik rumah gadang ini, Ia bukan orang terbuang. Hanya orang yang tak mau tunduk pada aturan tak beralasan.

Sebenarnya, dimasa muda Ibu Dera juga telah memberontak, ketika itu Ia dijanjikan untuk bersekolah di Kota Padang oleh salah satu keluarga yang telah kaya. Tapi itu hanya janji, bujuk rayu sebelum Ibu Dera mengikuti. Rani, Rani nama Ibu Dera. Pernah dijanjikan Sekolah Menengah Atas (SMA) Di Padang. Tapi, rupanya tak jadi. Janji tinggal janji, Ibu Dera dijadikan keluarganya buruh cuci. Di rumahnya sendiri.

Kini, alangkah beratnya meluluhkan kata hati bagi Bu Rani, dua kali dikhianati. Dalam hal besar - besar pula, pertama sekolah ke dua nikah. Tetapi hari ini, Dera malah melihat sifat pemaaf Ibunya, walau Dera tahu Ibunya adalah seorang pemberontak. Ibunya rela numpang di rumah mertua, asal tak diganggu keluarganya. Kini Ia maafkan, dipaksa kembali karena panggilan nurani, garis keturunan.

Perlahan dari belakang, entah dapur entah sumur terdengar suara batukan. Inyiak Jamilah rupanya, tetua kaum ini, umurnya ketika itu sudah delapanpuluh tiga tahun. Ia seorang veteran, juru masak Pembela Tanah Air (PETA) pada masa agresi Belanda II. "Eeh kawu Ni! Lai babaliak juo Kawu Nak...!" Suara Inyiak Jamilah melengking, "Eeh kamu Ni! Balik juga kamu Nak...! begitulah kira - kira Inyiak menyahut. Walau usianya sudah lanjut, tapi semangatnya masih semangat pejuang. Tubuhnya belum bungkuk, matanya belum rabun dan suaranya masib keras memekik!

Inyiak Jamilah, sebenarnya tidak ikut dalam hal pelarangan nikahnya Rani dan Khairul, Ayah Dera. Malahan Ia setuju, cucunya menikah dengan orang tau agama. Tapi apa daya, umur sudah tua, bicaranya tak didengar lagi oleh anak, keponakannya. Ia tak bisa berbuat banyak kala itu. Kemudian Inyiak Jamilah menyuruh duduk, "duduak lah lu."

"Etek jo Mamak kama nyo Nyiak?" Ibu Dera membuka pembicaraan, "Etek dan Mamak kemana dia Nyiak?," Etek adalah adik Ibunya, Bundo Kanduang tadi. Mamak adalah adik laki - laki ibunya, Penghulu Silami. "Mamak kau tadi ka parak, etek kau antah kama lah." Mamak tadi ke ladang, Etek entah kemana"... Inyiak Jamilah menjawab apa adanya.

 Inyiak Jamilah melanjutkan cerita, "sabananyo kalau dek Ambo, ndak masalah Si Dera tingga di rumah bakonyo, sebab mintuo kawu lai elok, inyo ndak kasio - sio do. Tapi baa lah nyo Ambo lai, Etek kau mamaso juo. Antah apo wujuik mukasuiknyo." Sebenarya menurut Saya, tidak apa - apa Dera hidup di rumah bakonya, sebab mertua kau tidak akan sia - sia. Tapi apa daya, Etek kau memaksa juga. Begitu lah kira - kira Inyiak Jamilah menjernihkan suasana.

"Biarlah Nyiak, semoga saja harapan saya yang dulu terkubur, kini dapat dibangkitkan oleh Dera, semoga saja Sanak keluarga telah mementingkan pendidikan. Tidak sekedar bekerja, saya merasa pekerjaan saya selama ini sia - sia, karena tak banyak ilmu yang dapat saya wariskan kepada Dera. Andai saja, dulu saya sekolah atau disekolahkan. hmmm" Bu Rani bergumam.

"Tak usah kau risaukan itu Nak, sebab garis tangan masing - masing sudah tergambar. Semoga Sanak keluarga kita telah berubah, Dera bisa jadi orang terpandang. Bukan sekedar orang kaya beruang, seperti etek - etekmu nan lain." Inyiak Jamilah menyahuti lagi, Inyiak dari dulu memang mementingkan pendidikan daripada sekedar kerja. Tapi anak, keponakannya tak menghiraukan.

Kerja, Kerja, Kerja... Memang bagus manfaatnya, tapi bukankah Buya Hamka pernah berkata, " kalau kerja sekedar kerja - kerbau di sawah juga bekerja." Jelas lah bagi kita, dalam lubuk hati Inyiak Jamilah, tersimpan cita - cita yang tertumpang pada pendidikan. Tujuannya bukan hanya uang, tetapi menciptakan peradaban bangsa yang matang!.

Di rumah gadang, Dera tak seorang. Selain keluarganya, juga ada keluarga Etek Ibunya, Nenek bagi Dera, sebab Etek dari Ibu adalah adik - adik neneknya Juga. Nenek Dera Zalnis namanya, almarhumah ketika berumur empat puluh tiga, Dera belum ada. Konon kabarnya, psikis Nenek kandung Dera terganggu akibat tekanan saudara - saudaranya. Ia hanya jadi budak pekerja, pembantu rumah gadang.

Selain Dera sekeluarga, hidup pula Etek Ati, Bundo Kanduang tadi. Juga Satu lagi Etek Ibunya, Dahlia dan keluarga - keluarga mereka pula. Bayangkan, satu atap tiga ruang rumah gadang, di huni tiga keluarga dengan suami serta anak - anaknya, plus Inyiak Jamilah. Mereka satu dapur, satu kamar mandi, berarti untuk urusan rumah tangga diperlukan ketertiban yang mumpuni.

Walau mereka satu darah, satu nenek, yang namanya keluarga pasti sudah mempunyai kebiasaan - kebiasaan sendiri, kebiasaan itu acapkali melabrak kebiasaan keluarga lainnya. Posisi Ibu Dera, adalah anak bagi Etek Ati dan Etek Dahlia. Ibu Dera seolah termarginalkan, dipaksa mengalah demi kepentingan Etek - Eteknya.