Buya Hamka: Tasawuf dan Kemodernan



Oleh: Ilham Sahruji (Ketua Umum HIKADU, Mahasiswa FUAD UIN Bukittinggi)

“... Mereka perbuat pelajaran-pelajaran zuhud, membenci dunia, padahal masih hidup dalam dunia, tidak peduli akan keadaan sekelilingnya atau di dalam alam sekalian. Sehingga kelihatan tiap-tiap orang yang telah berpegang dengan agama menjadi orang bodoh, dungu, tidak teratur pakaian dan kediamannya, tersisih dalam pergaulan. Padahal bukan begitu hakikat pelajaran agama yang hanya bikinan sempit faham kepala-kepala agama saja. Islam membantah dan menentang segala teori buatan kepala-kepala agama itu. Dengan bukti cukup ditunjukkannya bahwa agama itu bukan musuh kemajuan, bahkan agamalah penuntun kemajuan, menempuh tujuan untuk perdamaian segala bangsa. (Hamka, Tasauf Modern, Jakarta: Panjimas, 1983, hlm. 84)”

Pada abad 15 sampai abad 16 adalah masa kebangkitannya bangsa Barat, yang paling mencolok yaitu munculnya revolusi industri dan sains. Kebangkitan ini menyemangati orang Brat melakukan penjelajahan ke beberapa wilayah, hebatnya lagi, proyek itu mampu mendominasi ke penjuru dunia, dan akhirnya sampai kehilangan aspek spiritual. 
Setelah lamanya megalami kekeringan spiritual, ternyata ada satu gerakan yang paling menonjol di akhir abad ke-20 dan di awal abad ke 21 adalah gerakan new age (new age movement). Kebangkitan spiritualitas ini terjadi dimana-mana, baik di barat maupun di dunia Islam. 

Di dunia Barat, kecenderungan untuk kembali pada spiritualitas ditandai dengan merebaknya gerakan fundamentalisme agama dan kerohaniaan, terlepas dari gerakan ini menimbulkan persoalan psikologis dan sosiologis. 

Sementara di dunia Islam di tandai dengan berbagai artikulasi keagamaan seperti fundamentalisme Islam yang ekstrem dan menakutkan, selain bentuk artikulasi esoterik seperti gerakan sufisme dan tarekat. Dari peristiwa tersebut menimbulkan pertanyaan, mengapa di tengah-tengah habitat kemajuan ilmu dan teknologi , manusia cenderung lari kepada pencarian spiritual? Apa sih pentingnya tasawuf dalam dimensi kehidupan manusia modern?

Mengenal Hamka

Hamka merupakan singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Abdullah (1908- 1981). Ia adalah orang yang mempunyai integritas yang tinggi dalam bidang moral dan keilmuan. Hamka terkenal sebagai ulama dan cendekiawan terkemuka di Indonesia. Selain itu, dengan pemikirannya, ia mampu menguasai beberapa bidang keilmuan, Dalam kajian tasawuf , etika pemikiran hamka tertuang dalam beberapa buku antara lain: Tasawuf Moden Falsafah Hidup (Hamka, 2002) Lembaga Hidup (Hamka, 1983), Lembaga Budi (Hamka, 1983), Akhlakul Karimah (Hamka, 1992), serta buku Hamka yang lainnya antara lain: Pelajaran Agama Islam, Pandangan Hidup Muslim, Tafsir Al Azhar, dan Dari Hati Ke Hati. dan banyak lagi.

Tasawuf Modern Hamka

Dalam tasawuf modern yang ditawarkan oleh Hamka, seorang sufi harus menempatkan Tuan dalam skala “tauhid”. Tauhid dini artinya : Tuhan yang Esa itu ada pada posisi transenden (berada di luar dan di atas terpisah dari makhluk) tetapi sekaligus terasa dekat dalam hati (qalb). Pengertian ini merupakan gabungan antara konsep keakidahan (ilmu kalam) dan konsep “ihsan” menurut Rasulullah SAW. Dengan demikian Tuhan tidak ditempatkan “terlalu jauh” tetapi juga tidak “terlalu dekat”. Akidah ini disebut juga dengan akidah sufisme.

Hamka menekankan bertasawuf lewat taat peribadatan (ibadah) yang dituntunkan agama dan merenungkan hikmah (semangat Islam yang tersembunyi) di balik seluruh bentuk dan macam peribadatan itu. Kehidupan tasawuf seseorang baru dapat dikatakan berhasil jika pada diri seseorang tersebut tampak etos sosial yang tinggi, kepekaan sosial yang tinggi (karamah dalam arti sosio-relgius) Sama dengan juga kehormatan yang disebabkan kiprah dan jasa sosial yang dimotivasi oleh dorongan kesalehan dalam menjalankan syariah agama). Inilah yang disebut dengan refleksi hikmah. Yaitu merupakan buah hasil dari pelaksanaan peribadahan yang benar dan ikhlas.

Perilaku zuhud bagi Hamka adalah siap miskin, siap kaya, dan bersedia untuk tidak mempunyai uang sepeser pun, dan bersedia untuk menjadi milyuner, namun harta tidak menjadi sebab melupakan Tuhan dan lalai terhadap kewajiban. Zuhud tidak berarti ekslusif dari kehidupan dunia, sebab hal ini dilarang oleh Islam. Islam menganjurkan semangat untuk berjuang, semangat berkorban, dan bekerja bukan malas-malasan.

Salah satu dari jalan tasawuf adalah kefakiran (poverty). Arti kefakiran dalam arti sesungguhnya itu bukan berarti semata-mata kekurangan dalam hal kekayaan, tetapi bahkan tidak memiliki keinginan untuk memperoleh kekayaan ini dapat diandaikan kosongnya hati (dari keinginan terhadap perolehan kekayaan) sebagaimana kosongnya tangan (karena tidak memegang apa-apa). Jadi konsep kefakiran itu menampak dengan :tidak memiliki apa-apa, hati pun juga tidak menampak dengan:tidak memiliki apaapa. Sungguh pun begitu, konsep ini mengandung arti yang sesungguhnya seperti itu. Sebab, bisa saja ada seorang sufi yang punya harta benda banyak, namun dia merasa tidak memiliki harta benda itu, hatinya dapat “berjarak” dengan semua harta kekayaan itu.

Bagi Hamka, orang kaya adalah orang yang sedikit kemauannya dan seseorang yang banyak keperluan dan kemauannya itulah orang yang miskin. Kekayaan hakiki adalah mencukupkan yang ada, sudi menerima walaupun berlipatganda beratus-ribu milyun, sebab dia nikmat Tuhan. Dan tidak pula kecewa jika jumlahnya berkurang, sebab dia datang dari sana dan akan kembali ke sana. Jika kekayaan melimpah kepada diri, kita teringat bahwa gunanya ialah untuk menyokong amal dan ibadat, iman. Harta tidak dicintai karena dia harta. Harta hanya dicintai sebab dia pemberian Tuhan. Dipergunakan kepada yang berfaedah.

Hamka berpendapat bahwa nilai-nilai tersebut haruslah dimanifestasikan dalam kehidupan sosial. Nilai-nilai spiritualitas tersebut antara lain: takwa, tawakkal yang bukan fatalistik tetapi takwa berupa sikap aktif dan melakukan ikhtiar semaksimal dan seoptimal mungkin; ikhlas; harapan (raja’); takut (Khauf); taubat; ridha; zuhud; wara’;qanaah; syukur; sabar; istiqamah.
Ikhlas artinya bersih, tidak ada campuran, ibarat emas murni, tidak ada bercampur perak berapa persen pun. Pekerjaan yang bersih terhadap sesuatu, bernama ikhlas. Misalnya seorang bekerja karena diupah, semata-mata karena mengharapkan pujian dari sang majikan maka ikhlas amalnya kepada majikannya. Lawan ikhlas adalah Isyrak artinya berserikat atau bercampur dengan yang lain.

Kesimpulan-nya
Maka kehidupan dan kebahagiaan sejati seorang manusia, bukanlah ia yang menjadikan kebendaan atau materialisme usaha dan tujuan tertingginya. Namun ia yang menempatkan kemajuan hidup dan kebendaan di bawah kerohanian jiwa dan kebersihan hatinya dalam nilai agama, untuk memberi manfaat yang baik bagi manusia. Hal itulah yang bagi Hamka akan membawa pada “kesatuan” manusia untuk saling menghargai dalam kehidupan berbangsa, dan menjadi nilai kemanusiaan yang menjaga di dunia. (*)