Perjalanan Ke Kampung Sarosah, Saya Menemukan Pelajaran Pariwisata

Limapuluh Kota, SagoNews.com - 
Saya melihat ada pembelajaran pariwisata dari Kampung Sarosah. Masyarakat harus diberdayakan sesuai peraturan dan standar pariwisata Indonesia, masyarakat harus menjadi pengelola warisan Tuhan. Alam harus dikelola dengan baik dan benar, investor harus masuk dengan nyaman dan sopan.
Menikmati keindahan alam di Kampung Eropa, Bag. 1 oleh Fadli Riansyah

Saya pergi ke Lembah Harau karena menemani urusan teman, namanya Adityawarman, berasal dari Bawan, Lubuk Basung, Agam. Urusannya ke Harau adalah untuk mengantarkan undangan pernikahan. Saya berteman mulai dari kami masuk kuliah tahun 2012 di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumatra Barat (UMSB).

Adityawarman memiliki family di Jorong Lubuak Limpato, Kecamatan Harau, Kabupaten Limapuluh Kota. Orang - orang yang ingin dia temui adalah saudaranya yang bekerja di kawasan wisata Kampung Sarosah, bernama Willy (26). Juga pemilik Kampung Sarosah, Haji Chai yang selama ini membuat saya penasaran dengan dua hal, seperti apa sebenarnya Kampung Sarosah dan seperti apa sosok pemiliknya.

Dengan senang hati, saya tawarkan diri untuk mengendari scooter (motor metic terbaru) milik Adityawarman. Ia juga sangat senang karena ditemani ke Kampung Ayahnya yang sudah meninggal 2017 lalu, semenjak itu baru sekarang dia kembali pergi ke Harau. Hati saya sangat riang, motor metic terasa nyaman saat berjalan di aspal yang mulus dan lebar. Pemandangan indah Harau apa perlu saya ceritakan lagi?

Tebing - tebing indah mengukir indah langit Harau, sekitar pukuk 16.00 WIB kami langsung masuk ke Kampung Sarosah, sebelah kanan dari pertigaan di kawasan objek wisata Lembah Harau tersebut. Jalan menikung, sawah menghampar indah dan homestay - homestay menawarkan wahana dan pesonanya sendiri.

Motor metik meliyuk - liyuk dengan santai, 5 menit setelah pertigaan tadi, Saya sampai. di rambu - rambu tanda masuk Kampung Sarosah. Hati merasa selalu riang. Di depan sudah ada kerabat Adityawarman, memakai seragam hitam bertuliskan Crew Kampung Sarosah, Willy bersepatu dan rambutnya ditata rapi, lengkap dengan senyum khas sambil duduk dia menanti kedatangan kami.

Langsung, Willy mengajak kami untuk ngopi di warung sebelah kanan gerbang tiket Kampung Sarosah. Adityawarman dan Willy bernostalgia, mereka terdengar cerita tentang banyak hal dan intonasi yang penuh semangat, hahaha. Saya, justru sibuk memutar - mutar kepala, melihat di sekitar gerbang masuk itu.

Sekitar 15 orang crew yang berseragam sama dengan Willy terlihat ikut menikmati suasana asli, sejuk, ramah dan indah (asri) Kampung Sarosah. Mereka terlihat serius tapi santai mengurus kedatangan pengunjung, ada yang memberikan tanda tiket (karcis) dan ada yang mengarahkan tempat parkir, juga ada yang melihatkan selebaran bening (laminating) peta objek wisata Kampung Sarosah.

Pemandangan itu sangat saya sukai, karena mungkin hanya disini saya temui pelayanan seperti itu (khusus daerah Kabupaten Limapuluh Kota). Setelah satu jam mengamati sambil minum air putih, saya langsung nimbrung ke dalam obrolan dua orang sejoli tadi. Disini pelayanannya bagus, sebenarnya saya ingin menulis tentang Kampung Sarosah, kata saya kepada Willy.

Senyum khas muncul dari bibir Willy, ia menjawab, bagus itu, kalau mau nanti saya temani ke dalam, ucapnya. Saya sangat senang, namun dicampur rasa penasaran yang tinggi. Karena sebelum ini saya hanya melihat foto - foto Kampung Sarosah atau yang disebut publik dengan Kampung Eropa itu. Willy juga yang mengatakan kepada saya bahwa, lebih dari 50% pegawai disini adalah warga lokal (putra daerah Lubuak Limpato dan sekitarnya.

Sebelum masuk, saya mendengar dari percakapan kawan - kawan ini ternyata sang pemilik, "Haji Chai sedang pergi ke Palestina bersama keluarganya," kata Willy. Adityawarman batal mengasih langsung undangan pernikahan adik perempuannya itu, rasa penasaran saya akan sosok Haji Chai juga harus ditunda dulu. Walau pun memuncak ketika Willy mengatakan ia sangat - sangat nyaman bekerja disini.

Nama Haji Chai sering saya dengar sejak kuliah, dia dikatakan orang - orang adalah sosok yang dermawan, penyayang anak - anak dan suka dengan anak muda yang semangat. Ia juga diceritakan sebagai tempat meminta pendapat, "bisa ka pai tampek batanyo, ka pulang tampek babarito," begitu kata orang yang belum saya buktikan, hehe.

Willy yang ternyata seorang koordinator lapangan disana, tidak jadi menemani saya ke dalam, ia hanya menawarkan motor KLX miliknya yang saya sanjung - sanjung, karena sebagai pengusaha kopi (merek Sago) saya ingin sekali memiliki kendaraan tersebut. Menurut Willy dirinya mau laporan ke bagian HRD (?). Karena baru kenal saya segan memakai motornya, lanjut masuk ke Kampung Eropa dengan Adityawarman beserta motor metiknya.

Hanya 50 meter dari tempat tiket Kampung Sarosah, saya sampai di tempat tiket Kampung Eropa, di depannya saya melihat Rumah Gadang Bagonjong. Suasana asri makin merasuk ke relung sukma, Adityawarman sudah gatal - gatal minta difoto, latarnya rumah gadang yang mungkin dipergunakan untuk aula pertemuan atau untuk berkumpul kelompok pengunjung dalam jumlah banyak, saya lupa bertanya saking menikmati alam di Kampung Sarosah.

Tanpa permisi saya langsung masuk ke Kampung Eropa, pegawai perempuan dengan pelan, lembut (kurang terdengar bagi saya) menyapa, maksudnya menginginkan saya untuk registrasi dulu. Tapi saya khilaf, saya agak acuh dan menjawab, "saya hanya sebentar, hanya mau mengambil beberapa buah foto," kalimat yang seharusnya tidak saya ucapkan.

Barangkali pesona Kampung Sarosah dengan Kampung Eropa ini benar - benar telah memukau saya, kepada pegawai penjaga tiket itu pun kini saya tak sempat meminta maaf. Hanya saja setelah saya dan Adit selesai berfoto sekitar 10 kali jepretan, saya menghampiri penjaga tiket itu. Sebelumnya, waktu saya masuk ada pria yang berkata agak keras, "walau pun sabanta mangecek juo lah Da," sekiranya begitu.

Awalnya saya kembali ke penjaga tiket memang berniat menemui pria itu, saya berjalan dengan santai, Adit sibuk melihat foto - foto dan saya terkesima dengan selebaran tiket yang penuh transparansi, "harga tiket masuk Kampung Sarosah Rp. 5.000,- (distor ke Pemda) di bawahnya harga tiket kampung eropa Rp. 15.000,- dan kalau tidak salah gratis bagi anak - anak di bawah umur 7 tahun," begitu.

Lalu saya bertanya kepada karyawati tadi, 5 ribu ini untuk areal mana dan 15.000 ribu untuk mana? Atau yg 5.000 untuk Pemda ini diambil dari yang 15.000? Ucap saya, masih agak kesal karena diteriaki pria tadi. Dan tau - tau pria itu berdiri di samping saya, lalu menjelaskan, "bukan Bang Rp. 5.000 itu untuk seluruh kawasan Kampung Sarosah dan untuk masuk Kampung Eropa Rp. 15.000,- kita kerjasama dengan investor Bang," ucapnya.

Mendengar itu, saya hanya berfikiran "oh iya ya," sambil bergumam, "untung tadi dia menegur saya," kalau tidak saya tak akan tahu. Sambil berlau saya ucapkan terimakasih dan meminta maaf karena tadi sudah lancang. Kesal berubah syukur.

Saat perjanan balik untuk pulang dan menemani Adit menghantar undangan, saya agak termenung, tertunduk, merasakan betapa selama ini publik dan saya telah salah menilai. Kampung Sarosah sudah memberikan saya banyak pelajaran. Semoga saya diberi kesempatan untuk berterimakasih kepada pengelolanya, Haji Chai yang budiman. Karena sepulang dari Kampung Sarosah saya juga menyadari kalau pemilik alam ini semua adalah Allah, dzat yang maha mencipta. Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar.

Saya shalat maghrib di rumah kerabat Adit, sehabis shalat hanya kalimat syukur dan istighfar yang saya perbanyak. Kampung Sarosah telah dikelola dengan baik dan benar, tidak melupakan adat Minangkabau dan Kampung Eropa adalah daya tarik bagi pengunjung juga investor - investor.

Catatan kaki : tulisan ini murni dari saya. Saya dapat dihubungi via whatsapp di 082387120624 atau temukan saya di facebook dan ig atas nama Fadli Riansyah. Salam wisata halal.