Novel Dera Serial Menuju Langit Bagian Tiga



Hari itu, mentari sepenggalah tingginya, para orang tua berkumpul untuk mengetahui kelulusan anak - anak mereka. Tak lupa juga Ayah Dera, Ia selalu berinisiatif saat hari - hari penting seperti ini, baik itu saat serah terima rapor maupun saat - saat ada pertemuan guru dengan wali murid. Ayah ingin benar mengontrol pendidikan putrinya, Ia paham betul pentingnya pendidikan.

Bel berbunyi, wali murid dipanggil salah seorang petugas piket untuk berkumpul di Mushalla, tempat shalat sekolah. Para orang tua berbondong - bondong masuk, terlihat pula guru kelas 6, Wali Kelas Dera, Salniati namanya. Buk Sal panggilan akrabnya, ia membawa sejumlah amplop, berisikan hasil ketetapan dari Dinas Pendidikan, pemberitahuan lulus tidaknya seorang peserta didik.

Ayah Dera terlihat antusias, serius Dia mengikuti arahan - arahan. Seolah tak sabar saja mengetahui hasil UN anaknya. Detak jam berdentang, menunjukkan pukul 11.00, Wali Murid, guru dan sekolah telah duduk di depan. Pertanda waktu yang dinantikan itu telah tiba, kepala sekolah memberi sambutan, Ibuk guru memberikan arahan dan evaluasi. Pembawa acara mengatakan, "baiklah kita mulai pembagian amplop kelulusan anak murid kita."

Satu per satu nama murid terpanggil, termasuk nama Dera Khairullisa. Suasana terlihat gembira, ada wali murid yang tertawa, menangis bahagia sebab anak mereka dinyatakan lulus. Sepertinya, Buk guru Sal telah membuat lulus 100% bagi peserta didiknya. Tapi, tidak bagi Ayah Dera. Ia kelihatan tenang saja, Dera bertanya, "apa Ia lulus Yah?." Ayahnya hanya tersenyum, sambil ditepuknya pundak Dera. Dera pun gembira, bulir air mata gembira hampir jatuh dark sudut pipinya. Mimik wajah Sang Ayah seperti mengatakan, Dera lulus.

Ayah Dera selalu begitu, Ia pandai menahan rasa, baik itu hal suka maupun hal duka. Ayah Dera tenang, karena baginya itu cuma urusan dunia belaka, "ini baru awal pendidikanmu, Nak. Setelah ini mau nyambung kemana?." Ayah Dera menoleh pada putrinya yang masih senyum - senyum. Dengan singkat Dera menjawab, Tsanawiyah Yah....

Dera memang telah memutuskan, Ia mau sekolah di Madrasah Tsanawiyah. Berbeda dengan teman - temannya yang merujuk pada SMP, Ia tidak mau meninggalkan pendidikan agama. Begitu pula tak mau meninggalkan pendidikan umum, Ayah Dera merasa bangga. Putrinya tidak pernah lupa dengan agama, tetapi ada rasa khawatir juga dalam dada Sang Ayah, khawatir kalau putrinya juga bercita - cita sebagai guru agama. Sambil menghela nafas, Ayah mengajak Dera untuk pulang.

Dera memang tidak pernah mengungkapkan cita - citanya, terutama kepada Ayah dan Ibunya. Itu pula yang membulatkan tekad Dera untuk fokus, serius dan tulus menghadapi hari - harinya. Bagi Dera kecil, cita - cita hanyalah sebuah hadiah, ketika telah selesai berusaha dan berdo'a. Tidak hayal, prinsip seperti itu adalah buah kombinasi dari pendidikan Surau, pendidikan adat Datuak Silami dan Pendidikan moral keluarga. Makanya Ayah dan Ibu Dera tidak pernah gelisah tentang pendidikan anaknya, mereka percaya.

Dari kepercayaan itu lah, Dera terpaksa terus menjaga. Ia tak mau terbawa - bawa pergaulan, memisahkan diri dari teman - teman SD adalah bukti, bahwa prinsip Dera telah tertancap di hulu hatinya. Ia mau menambah pergaulan, hanya Ia seorang yang sekolah di Tsanawiyah. Sementara teman - temannya masuk sekolah umum, meski banyak yang membujuk, Ia tak hirau. Dera telah fikirkan awal dan akhirnya, ketika Ia memasuki sesuatu.

Pagi itu, Dera melangkahkan kaki. Berjalan seorang diri, jarak Tsanawiyah dari rumahnya, lima kilometer lebih jauh daripada sekolah umum. Memang dari rumah lah titik mula sebuah perjuangan, rumah yang selalu menyuguhkan kesetiaan, di dalamnya penuh cinta dan kasih sayang. Dera berjalan kaki di tengah deru sepeda motor, mobil - mobil yang sibuk menghadang waktu. Watak keras Dera terlihat dari situ, gadis yang begitu berani. Ia tak hirau dengan kata orang, Ia percaya diri melamar ke Tsanawiyah di zaman yang katanya zaman modern, tekhnologi seolah menjelma menjadi Dewa. Lebih berharga dari agama, bagi generasi muda, tahun dua ribu enam.

Tiga hari setelah Dera memasukkan lamaran ke Tsanawiyah, kini saatnya Ia melihat hasilnya, diterima atau tidak. Tapi, fantastis! Nama Dera nomor urut tiga, diurutkan dari nilai tertinggi pelamar. 7,89 adalah rata - rata nilai UN Dera, ditambah lagi dengan nilai test masuk yang semuanya berangka kan A. Rona wajah Dera memerah, Ia tak menyangka ; keraguan orang - orang semulanya terbantah sudah, kertas bertabel itu buktinya!

Tabel - tabel berisikan angka itu, telah mencantumkan namanya di urutan ketiga, hasil seleksi ratusan siswa yang masuk ke Tsanawiyah. Dera semakin mendapatkan kepercayaan diri, lokal unggul tujuh satu tersedia untuknya. Irma Suryani jadi wali kelasnya, Bahasa Indonesia bidang studinya. Favorit bagi Dera, killer bagi murid yang lain, sebab Buk Irma tidak suka dengan kesalahan kata - kata.

Dera telah biasa susah, hidup di tengah sawah. Suara jangkrik malam hari musik pengantar tidurnya, desiran sungai bak alunan biola. Rumah Dera terpisah, jauh dari tetangga. Pantas saja, Ia suka berkata - kata, kesunyian telah mengatakan bahwa suaranya sendiri, begitu penuh harga. Mampu memecah kesunyian, menghalau segenap rasa sepi. Dera suka berpuisi. Tatanan katanya mampu meluluhkan hati, termasuk Buk Irma Suryani.

Irma Suryani tertarik dengan bahasa Dera ketika perkenalan, sungguh tertata, penuh sopan dan santun. Ia mulai dengan salam, mengucapkan puji syukur kepada tuhan, memberi penghormatan kepada Sang Guru dan membangkitkan semangat kawan - kawan sekelas. "Perkenalkan, nama saya Dera Khairullisa. Anak pertama dari dua bersaudara, saya berasal dari SDN 01 Situjuah Banda Dalam. Saya tertarik melanjutkan pendidikan disini, karena ingin menguasai ilmu agama. Sekian, terimakasih."

Salam perkenalan seperti itu, tak sering kita dengar dalam perkenalan masa awal sekolah. Siswa baru, sering menonjolkan rasa malu. Tetapi bagi Dera, "tak usah malu untuk hal yang tak salah. Perkenalan adalah awal dari sebuah hubungan, harus mengesankan." Bukankah sering kita dengar, kata tak tahu maka tak kenal, tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta?.

Dari perkenalan itu lah, Dera mulai terkenal dengan gadis ceria, suka bergaul dan sopan. Ia pandai memposisikan diri, al hasil jabatan wakil ketua kelas dipercayakan kepadanya. Meski sebelum itu, ketika masa orientasi sekolah, Ia juga dinobatkan sebagai "ratu" perhelatan OSIS Tsanawiyah itu. Dera tak pernah meninggi, pandangannya tetap menunduk,  jalannya tetap tegap dan santai. Ia paham, jabatan di sekolah adalah bunga - bunga yang akan menggoda imannya.

Sebagai siswa baru yang terpandang, Dera tidak sungkan bergaul dengan siapa pun, senior - junior, guru - guru dan penjaga sekolah, sama rata dalam pandangan kemanusiaannya. Sebab Ia telah dilatih, untuk tagak samo randah duduak samo tinggi. Semua orang sama dalam pandangannya, yang berbeda hanya ketaqwaan dan ilmunya. Bukankah begitu kitab suci mewasiatkan?

"Suara hutan, desiran angin. Nyiur melambai, air mendesir. Membuatnya waspada, tak ada manusia yang sempurna."

Untuk apa merendah - meninggikan manusia, padahal di mata pencipta sama saja. Bukankah selama ini, setiap senang dan susah, manusia tak ada yang bisa diandalkan. Jika senang, euforianya hanya sementara. Jika susah, manusia tak bisa berbuat banyak. Dera mulai lagi membatin, Ia berdialektika dengan segenap logika kehidupan.

Sambil berjalan di teras Tsanawiyah, menuju Mushalla untuk Shalat Zuhur, Dera tak habis fikir dengan popularitasnya saat ini. Masak iya, baru semester pertama, enam bulan sekolah Ia sudah dikenal oleh semua siswa dan guru - guru. Masak iya, orang satu - satunya dari SDN 01 Banda Dalam, pergi sekolah jalan kaki pula, diberikan amanah yang tak disangkanya. Sebuah konflik kecil mulai menjalar di kepalanya.

Penulis: Fadli Riansyah Putra